Pengunjung

Rabu, 02 Oktober 2013

Pujangga Yasadipura I dan Yasadipura II

Yasadipura I dan Yasadipura II
----

1. Pendahuluan

Tantangan kehidupan sekarang tak saja harus mampu menjawab masalah-masalah ekonomi, politik dan hukum, tapi juga menyangkut budaya. Jadi di tengah kesibukan kita menghadapi masalah itu, juga harus memiliki ruang untuk membedah nilai-nilai budaya yang ditulis para pujangga, misalnya RNg Yasadipura. Karya pujangga sarat nilai yang memiliki makna untuk mencerahkan kehidupan. Sementara dalam mengarungi kehidupan yang semakin penuh persaingan kita perlu sosok pahlawan kebudayaan. Itulah pokok pikiran yang muncul dalam Seminar Nasional "Peran dan kedudukan pujangga Yasadipura dan karya-karyanya dalam perkembangan sastra Jawa".

Nama Ranggawarsita berasal dari kata rangga-warsita. Rangga berarti senapati, panglima, komandan pertempuran. Warsita adalah wacana, wejangan, pengetahuan hidup, episteme. Nama ini secara langsung menunjukkan bahwa para pemimpin tanah Jawa mengubah strategi peperangannya melawan kumpeni. Selepas peperangan fisik di perang Jawa/Dipanegara, maka peperangan dengan kumpeni berubah bentuk menjadi peperangan pengetahuan. Itulah sebabnya mengapa Mas Burham diberi gelar R Ng. Ranggawarsita, bukan Yasadipura III. Dan hal ini terbukti dengan bangkitnya semangat menuliskan kembali peninggalan pengetahuan Jawa. Bersamaan era atau masa dengan R Ng. Ranggawarsita adalah Kangjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara IV (1809-81) dari Pura Mangkunegaran, Surakarta.

2. Raden Ngabehi Yasadipura I

Raden Ngabehi yasadipura I nama kecilnya adalah Bagus Banjar, putra Tumenggung Padmanegara bupati Pekalongan. Ayahnya masih keturunan Sultan Hadiwijaya Raja Pajang. Pendidikan yang ditempuh oleh R.Ng. Yasadipura I adalah Pesantren Hanggamayan magelang yang dipimpin oleh Kyai Honggomoyo.Raden Ngabehi Yasadipura I adalah pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat yang menjabat di masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana II (1711-1749), Pakubuwana III (1749-1788) dan Pakubuwana IV (1788-1820) antara tahun 1743 hingga tahun 1803, kemudian jabatan pujangga dilanjutkan oleh putranya yaitu Raden Ngabehi Yasadipura II (1803-1844) hingga masa Pakubuwana VII dan kemudian jabatan pujangga dilanjutkan oleh R.Ng. Ranggawarsita.

3. Raden Ngabehi Yasadipura II

Yasadipura II lahir sekitar tahun 1760 dan merupakan putra pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat yaitu Radn Ngabehi yasadipura I. Yasadipura II ini menjabat sebagai pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat pada masa pemerintahan Pakubuwana IV (1788-1820), pakubuwana V (1820-1823), Pakubuwana VI (1823-1830) dan pakubuwana VII (1830-1858).
Yasadipura II diangkat sebagai pegawai Keraton Surakarta hadiningrat berpangkat panewu dengan nama Kyai Ranggawarsita I dan kemudian naik jabatan menjadi Kliwon dan bernama R.NG. Yasadipura II. Pada tahun 1803, pujangga kerajaan yaitu Yasadipura I meninggal dunia dan sebagai penggantinya maka diangkatlah R.Ng. Yasadipura II oleh pakubuwana IV dengan nama baru Raden Tumenggung Sastranegara.Yasadipura II sendiri merupakan keturunan dari Jaka Tingkir (Sultan Adiwijaya, Raja Pajang) yang dari silsilah keluarganya banyak melahirkan beberapa pujangga Jawa terkenal, seperti Yasadipura I (sang ayah) dan Raden Ngabehi Ranggawarsita (sang cucu). Setelah Yasadipura II menyelesaikan pendidikannya di Tegalsari ia kembali ke Surakarta dan mengabdi di Keraton, karirnya sebagai penulis mulai berkembang pada awal abad ke-19. Bersama-sama dengan ayahnya, Yasadipura mulai menulis beberapa Babad dan menerjemahkan beberapa karya Sastra Kuna.

4. Sejarah Perkembangan Karya sastra Yasadipura I dan Yasadipura II

Peran dan kedudukan pujangga Yasadipura I dan Yasadipura II dalam sejarah perkembangan kesusastraan jawa sangat penting, yakni sebagai tokoh simpul yang dapat menjembatani tradisi sastra pra-Islam dan perkembangankesusastraan jawa sesudanya (zaman Islam) yang sempat mengalami stagnan.
Karya- karya tersebut membuktikan bahwa Yasadipura I menguasai bahasa Jawa Kuna. Pada abad ke-19 para ahlu filologi Belanda yang tertarik pada bahasa dan sastra Jawa mengumpulkan manuskrip Jawa Kuna (Margana, 2004: 62). Para ahli tersebut amenerjemahkan manuskrip dengan bantuan informasi lokal, di antaranya adalah Yasadipura I. Akan tetapi, Yasadipura I tidak semata-mata menerjemahkan manuskrip tersebut. Teks-teks dalam manuskrip digubahnya menjadi karya baru. Dengan demikian, ia memeras otak mengolah dan memilih kata yang sesuai agar karya Jawa Kuno itu dapat dimengerti oleh masyarakat dengan tetap mengikuti kaidah tembang macapat.

Yasadipura II dikenal sebagai pujangga Keraton atau kaum literati yang kreatif, produktif, kritis, dan terkemuka pada zamannya. Hal tersebut tercermin dalam beberapa karyanya, seperti Dharmasunya, Arjunasasra, Wicarakeras, Sasanasunu, Bratasunu, Babad Giyanti, Sewaka, Anbiya, Iskandar Serat Centhini, dan masih banyak lagi karya-karya lainnya. Berbeda dengan ayahnya, Yasadipura I, asal-usul keberadaan Yasadipura II tidak terlalu banyak dapat diceritakan. Hal ini dikarenakan keterbatasan sumber dan banyaknya karya-karya Yasadipura II yang tidak diekspos atau hilang. Pada tahun 1826, Yasadipura II ditunjuk sebagai pejabat Bupati Carik Kadipaten. Ketika menjadi seorang pujangga, Yasadipura II mengabdi kepada tiga orang raja yang ketiga-tiganya dikenal sebagai pengayom sastra. Salah satu dari ketiga raja tersebut adalah Raja Pakubuwana V (1820-1828) yang memiliki tiga orang putra antara lain R. Ngabehi Ranggawarsita II, Mas Haji Ranggasmita (keduanya nanti diasingkan oleh Belanda pada tahun 1828, karena dianggap bersekutu dengan Pakubuwana IV melawan kompeni pada saat terjadi perang jawa yang terjadi pada kurun waktu 1825-1830), dan R. Ngabehi Hawikrama yang kelak bergelar Yasadipura III.

5. Karya Sastra Yasadipura I

Beberapa peneliti meragukan kemampuan Yasadipura I dalam penguasaan bahasa Jawa Kuno. Poerbatjaraka menunjukkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan Yasadipura I, yaitu pada saat menyadur Kakawin Bharatayuddha menjadi Serat Bratayuda terdapat kesalahan dalam pemenggalan kata sehingga muncul nama-nama baru (Poerbatjaraka dan Hadidjaja, 1952: 157—160). Namun, memahami kakawin dan menuangkanya kembalimenjadi karya sastra ke bentuk berbeda merupakan pekerjaan yang luar biasa. Seseorang yang tidak piawai dalam kesusasteraan Jawa tidak mungkin dapat melakukannya. Apalagi terbukti cerita dalam Kakawin Bharatayuddha tidak mengalami perubahan yang signifikan. Inti dari kepustakaan jawa pada zaman kerajaan Surakarta yang dibangun oleh Yasadipura I dan II,yakni membedakan antara karya Yasadipura I dengan Yasadipura II. Karya yang tercipta sesudah tahun 1801 bukan merupakan karya Yasadipura I, karena Yasadipura I wafat pada tahun 1801.

Adapun karya-karya pujangga yasadipura I dapat dibagi menjadi dua yaitu gubahan dan ciptaan. Karya sastra gubahan meliputi karya-karya yang lebih tua yaitu Arjuna Wiwaha Gubahan Macapat, Bratayuda Gubahan Macapat, Dewa runic Gubahan, Ramayana Gubahan Macapat, serat Ambiya Gubahan, Serat Menak Gubahan Macapat, Serat tajusalatin Gubahan Macapat. Karya sastra ciptaan meliputi Serat Cebolek, Babad Giyanti, Babat Prayut.

Kelebihan Pujangga Yasadipura I yakni :

a. Dia pandai membaca tulisan Arab dan paham akan isi teksnya sesuai pada keperluan masa itu.
b. Paham atas bahasa Jawa puisi (tembang macapat) dan prosa
c. Tokoh dan tempat yang diciptakan dalam cerita seolah-olah sungguh-sungguh terjadi
d. Pandai dan terampil dalam menggubah serat-serat baru dari sumber naskah-naskah kuna sesuai dengan kepentingan/keinginan masyarakat pada masanya. Masyarakat pada masanya menjadi berminat untuk membacanya.
e. Daya pikirnya tajam, tekun, dan teliti. Hal demikian dapat terlihat dari karyanya yang kronologi sruntut dan beberapa cukup tebal. Babad Giyanti jumlah halaman 1.702, Serat Menak jumlah halaman 3.760, dan Centhini 4.200 halaman

6. Karya Sastra Yasadipura II

Karya Yasadipura II mulai ditulis pada Januari 1814 sampai 1823. Tetapi setelah kematian ayahnya, Yasadipura II kemudian diangkat sebagai pujangga dan abdi dalem kerajaan. Ia semakin aktif menulis selama periode antara tahun 1810-1820an. Yasadipura II banyak bekerja sama dengan para pujangga lainnya, yakni dengan Kiai Ngabei Ranggasutrasna dan Kiai Ngabei Sastradipura. Ketiga anggota tim merupakan pegawai kepujanggaan di Kerajaan Surakarta. Kiai Ngabei Ranggasutrasna merupakan ahli bahasa dan sastra Jawa, beliau diberi tugas menjelajahi separuh Pulau Jawa sebelah timur, mulai dari Surakarta sampai Banyuwangi.

Kiai Ngabei Yasadipura II bertugas menjelajahi separuh Pulau Jawa sebelah barat, mulai dari Surakarta sampai Anyer. Segala yang mereka berdua lihat dan dengar harus dicatat, diingat-ingat, serta direkam dalam ingatan. Sedangkan kiai Sastradipura diberitugas naik Haji ke Mekah dan tinggal disana beberapa lama untuk memperdalam agama Islam, karena beliau ahli bahasa arab, tasawuf dan ahli agama. Setelah selesai menjelajah, mereka bertiga bertemu kembali di Kadipaten, Surakarta. Barulah serat Centhini dibuat.

Dari beribu-ribu naskah, naskah Centhini merupakan naskah yang baik dari ketebalannya maupun kandungan isi teksnya mempunyai keistimewaan. Kandungan isi teks Centhini sangat beragam, meliputi; sejarah, pendidikan (prenatal dan postnatal), geografi, arsitektur, pengetahuanalam, falsafah, agama, tasawuf, mistik, dan sebagainya. Karena kandungan isi teksnya banyak maka Centhini sering disebut Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, yaitu tentang segala ilmu yang terdapat dimuka bumi Pulau Jawa, bukan yang terdapat di Benua-benua lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar